Tari Bedhaya Ketawang



Bedhaya berasal dari bahasa Sanskerta budh yang berarti pikiran atau budi. Dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi bedhaya atau budaya. Penggunaan istilah tersebut dikarenakan tari bedhaya diciptakan melalui proses olah fikir dan olah rasa. Pendapat lain menyatakan bahwa bedhaya berarti penari kraton, sedangkan ketawang berarti langit atau angkasa. Jadi bedhaya ketawang berarti tarian langit yang menggambarkan gerak bintang-bintang, sehingga gerakan para penarinya sangat pelan.
Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar setahun sekali pada saat Jumenengan Ndalem (penobatan raja). Konon didalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram dengan busana pengantin putri basahan dan sangat cantik, tetapi haya orang tertentu saja yang bisa melihatnya. Perbendaharaan beksan(tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita(drama). Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh peramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan masukan kalangan “lelembut” yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton, sehingga ada muatan gaib dan mistis. Tari yang punya sifat magis dan religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang. Penari Bedhaya Ketawang  adalah abdi dalem, yaitu para penari keputren yang telah dibina sejak umur kurang lebih 12 tahun, sesudah remaja atau sudah dianggap mampu untuk menarikan tari bedhaya, bila raja berkenan mereka diambil untuk dijadikan penari keraton. Kehidupan para penari ditanggung oleh keraton.
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula diperagakan khusus oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan). Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng(Karya Panembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom( karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong(karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya. Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang masih simpang siur.
Bedhaya Ketawang misalnya menurut SinuhunPaku Buwono X menggambarkan lambang kasihnya cinta Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinihun ikut bersamanya menetap didasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya didasar lautan) dan terjadilah perjanjian/Sumpah Sakral antara Ratu Kanjeng Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Panembahan Senapati-Raja Mataram pertama sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Panembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, Penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar suara alunan gending. Kemudian Sultan Agung berinisiatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
Oleh karena itu, ketika Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kraton Surakarta meminta tari Bedhaya Ketawang sebagai pertunjukan sakral istana. Sedangkan kraton Yogyakarta, mencipta bedhaya Semang. Bedhaya Ketawang dibawakan oleh 9 penari wanita dan dianggap sebagai induk munculnya jenis tari Bedhaya lainnya. Kesembilan penari tersebut memiliki posisi masing-masing yang disebut sebagai batak, endhel ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, gulu, dhadha, serta boncit. Masing-masing posisi merupakan  suatu simbol, yaitu:

·       Apit mburi: melambangkan lengan kiri
·       Apit ngarep: melambangkan lengan kanan
·       Apit meneng: melambangkan kaki kiri
·       Batak: mewujudkan jiwa dan pikiran
·       Buncit: mewujudkan organ seks
·       Dadha: melambangkan dada
·       Endhel ajeg: mewujudkan nafsu atau keinginan hati
·       Endhel weton: melambangkan kaki kanan
·       Jangga (gulu): melambangkan leher
Keseluruhan penari yang berjumlah 9 orang dipercaya merupakan angka sakral yang melambangkan 9 arah mata angin. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada peradaban Klasik, dimana terdapat 9 dewa yang menguasai sembilan arah mata angin yang disebut juga sebagai Nawasanga, yang terdiri dari: Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut), Iswara (Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sengkara (Barat Laut), dan Siwa (Tengah). Upaya mengejawantahkan 9 dewa penguasa arah mata angin dalam wujud 9 orang penari tersebut merupakan suatu simbol bahwa pada hakekatnya tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam yaitu keseimbangan antara mikrokosmos (jagat kecil) dan makrokosmos (jagat besar). Suatu konsep kosmologi yang telah mendarah daging pada masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam.
Sebagai tarian yang sangat sakral, maka para penari Bedhaya Ketawang haruslah seorang gadis yang suci dan tidak sedang haid. Apabila sang penari sedang memperoleh haid, ia tetap diperbolehkan menari dengan meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul. Untuk itu, harus dilakukan caos dhahar di Panggung Sanggabuwana, suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat pertemuan Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Selain suci lahiriah yang dimaknai dengan sedang tidak haid-nya seorang penari Bedhaya Ketawang, ia juga dituntut untuk suci secara batiniah. Hal ini dapat dicapai dengan menjalani puasa selama beberapa hari menjelang pagelaran. Dengan menjalani lelaku tersebut diharapkan para penari tersebut dapat membawakan tarian Bedhaya Ketawang dengan sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan ada suatu beban tersendiri pada para penari. Dipercaya bahwa dalam suatu pagelaran Bedhaya Ketawang, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir bahkan ikut menari dan apabila ada penari yang kurang baik dalam menari maka ia akan dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke Laut Selatan. Kepercayaan ini memberikan suatu motivasi tersendiri bagi para penari, bahwa mereka harus membawakan Bedhaya Ketawang dengan sesempurna mungkin supaya tidak dibawa ke Laut Selatan.
Dalam persiapan pementasan, para penari harus mengikuti beberapa aturan dan upacara. Persiapan ini persis seperti jika seseorang akan menikah. Maka beberapa hari menjelang pagelaran, para penari harus mempersiapkan diri antara lain dengan meratus rambut serta kain, melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya supaya aura mereka dapat terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan dari tari itu sendiri. Malam sebelum pertunjukan, para penari harus tidur di Panti Satria, daerah yang paling suci di istana di mana semua peninggalan spiritual disimpan. Latihannya pun pada hari tertentu, yaitu hari Selasa Kliwon (sesuai penanggalan Jawa).  Sekali dalam setiap 35 hari, dan biasanya pelatihan intensif mulai 10 hari sebelum pertunjukan. Setiap latihan harus ada penari cadangan. Karena pada saat hari pementasannya jika ada penari yang haid tidak diperkenankan menari, sehingga penari cadangan tersebut bisa menggantikannya.
Tari Bedhaya Ketawang memiliki gerakan kapang-kapang dimana tangan berada disamping dan jari-jarinya membentuk posisi ngiting. Dengan gerakan gemulai para penari mulai bergerak mengambil posisi sembahan yang melambangkan manusia harus menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta dan melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa keraton, lalu setelah itu para penari berdiri dan mulai melakukan posisi mendhak dan mulai ngleyek sambil menari secara pelan dan sambil bergerak melakukan trisik, kengser sering kali posisi mereka bergantian sesuai gerak dan formasi yang telah ditetapkan misalnya saja dari formasi rakit awitan  berubah menjadi rakit ajeng-ajengan lalu setelah itu berubah menjadi  rakit iring-iringan atau kadang-kadang membentuk formasi rakit tigo-tigo kadang-kadang mereka melakukan gerak ombak banyu.
Pola lantai yang digunakan pada tari Bedhaya Ketawang seperti gawang montor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga. Bentuk sajian tari Bedhaya Ketawang terdiri dari tiga bagian, yaitu: maju beksan, beksan pokok, dan mundur beksan. Maju beksan dimulai dari penari berjalan kapang-kapang, yaitu berbari satu per satu dengan jarak kira-kira satu meter dari Dalem Prabasuyasa menuju Pendapa Sasana Sewaka kemudian membentuk gawang rakit montor mabur tepat di bawah lampu robyong besar. Jalan penari menuju pendapa harus sesuai raja (arah jarum jam), yaitu lewat sebelah kiri tempat duduk raja.
Urutan masuk para penari sebagai berikut: endhel ajeg, batak, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, gulu, apit meneng, dhadha, buncit. Kapang-kapang ini diiringi dengan suluk Pathetan Pelog Lima Ageng oleh kelompok vokal laki-laki dengan iringan beberapa instrumen gamelan berupa gender, gambang, rebab, dan suling. Setelah sampai di hadapan raja tepat di tengah-tengah Pendapa Sasana Sewaka membentuk gawang rakit montor mabur kemudian menyembah. Formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. Atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertib kosmis azali yang teratur, kemudian bagaimana tata tertib tersebut menjadi kacau dan kemudian kembali seperti semula lagi.
Sementara itu busana dan tata rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot, samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan Serimpi.
Sebagaimana pengantin, maka dodot yang digunakan bermotif alas-alasan. Tarian ini memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.
Kata bangun tulak berasal dari kata bango dan tulak. Bango merupakan nama sejenis burung yang dipercaya memiliki umur yang sangat panjang. Sementara itu tulak berarti mencegah bala atau kejahatan. Versi lain kain alas-alasan adalah gadhung mlathi yang memiliki lapisan bawah berwarna hijau sesuai dengan makna gadhung dan lapisan tengah berwarna putih sebagaimana warna bunga melati. Kain tersebut dikenakan sebagai bentuk penghormatan pada Kanjeng Ratu Kidul, karena dipercaya beliau sangat menyukai warna hijau. Selain itu hijau merupakan simbol kemakmuran, ketentraman, dan rasa ketenangan. Lembaran kain dodot tersebut dihiasi dengan motif alas-alasan, yang berarti rimba raya. Penamaan ini berkaitan dengan elemen-elemen yang membentuk motif tersebut, yaitu penggambaran seisi belantara yang meliputi aneka jenis hewan dan tumbuhan, yaitu:

a.     Ragam hias garuda
Dalam batik motif semen, motif garuda merupakan motif yang paling tinggi kedudukannya di antara motif lain. Garuda dipercaya sebagai burung dewa, kendaraan Wisnu, dan sekaligus sebagai simbol matahari. Dalam konsep dewa raja, raja diposisikan sebagai titisan Wisnu (dewa pemelihara), sehingga kendaraannya disejajarkan dengan kendaraan Wisnu. Simbol garuda dapat meninggikan kedudukan raja yang berkuasa.

b.     Ragam hias kura-kura
Kura-kura dipercaya sebagai lambang dunia bawah atau lambang bumi. Dalam agama Hindu, kura-kura merupakan penjelmaan Wisnu yang diharapkan akan dapat menjalankan tugasnya menjaga bumi bila bersatu dengan istrinya yaitu Dewi Sri atau Dewi Kesuburan.

c.      Ragam hias ular
Ular dianggap sebagai simbol perempuan dan merupakan bagian dari konsep kesuburan, hujan, samudera, dan bulan. Sementara itu naga sebagai ular dewa merupakan lambang air dan bumi. Watak tersebut dilambangkan sebagai Dewi Sri. Dalam pengertian simbol, naga melambangkan dunia bawah, air, perempuan, bumi, dan yoni.

d.     Ragam hias burung
Burung merupakan lambang dunia atas yang menggambarkan elemen hidup dari udara (angin) dan melambangkan watak luhur. Kadangkala burung menjadi lambang nenek moyang yang telah meninggal atau dipakai sebagai kendaraan roh menuju Tuhannya. Penggunaan ragam hias burung melambangkan bahwa manusia pada akhirnya akan kembali ke asalnya, yaitu kepada Sang Pencipta.

e.     Ragam hias Meru
Motif meru merupakan simbol gunung. Menurut paham Indonesia kuno, gunung melambangkan unsur bumi atau tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak gunung yang tinggi merupakan tempat bersemayam para dewa. Sementara itu pada pola batik, ragam hias meru menyimbolkan tanah atau bumi yang menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah.

f.       Ragam hias Pohon Hayat
Melambangkan kesatuan dan ke-Esaan. Bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta

g.     Ragam hias Ayam Jantan
Di Indonesia dipandang sebagai symbol keberanian dan tanggung jawab

h.     Ragam hias kijang
Kijang adalah lambang kelincahan dan kebijaksanaan yang menyimbolkan kelincahan dalam berfikir dan mengambil tindakan serta keputusan.

i.       Ragam hias gajah
Merupakan lambang kendaraan raja yang melambangkan kedudukan luhur, mengandung arti sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.

j.       Ragam hias burung bangau
Burung bangau dipercaya memiliki umur yang sangat panjang bahkan dapat mencapai ratusan tahun. Ia dianggap sebagai lambang penolakan keadaan yang tidak baik, sehingga diharapkan dapat menghindari atau menjauhi bahaya apapun, supaya pada akhirnya dapat meraih keselamatan dan berumur panjang.

k.      Ragam hias harimau
Melambangkan keindahan yang disertai wibawa dan tangguh dalam menghadapi lawan

l.       Ragam hias motif kawung
Motif ini tersusun atas bentuk elips, yang dapat diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai) dengan 4 lembar daun bunganya yang sedang mekar. Bunga ini melambangkan umur panjang dan kesucian. Dewa juga dilambangkan dengan bunga teratai. Berdasarkan hal tersebut, maka motif kawung menyimbolkan kedudukan raja sebagai pusat kekuasaan mikrokosmos sejajar dengan dewa sebagai pusat kekuasaan makrokosmos.
Pada hakikatnya penggunaan kain dodot dengan motif alas-alasan tersebut memiliki harapan yang baik sekaligus sebagai penolak bala. Hal ini sesuai dengan ornamen-ornamen yang digambarkan pada lembaran kain tersebut.
Namun sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan. Pemakaian kain jenis ini disebut samparan. Dalam
suatu pagelaran, kain yang digunakan sebagai samparan adalah cindhe dengan motif Cakaran berwarna merah.
Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari. Kain tersebut biasanya memiliki panjang 3 meter dan lebar 50 cm, yang disebut sampur atau udhet. Dalam suatu pagelaran, sondher yang dikenakan bermotif cindhe sekar warna merah, ujungnya berhias gombyok atau rumbai warna emas.
Dari uraian tersebut kita mengetahui bahwa para penari Bedhaya Ketawang mengenakan beberapa helai kain yang dalam teknik pemakaiannya tidak memakai proses jahit dan hanya dililitkan, diselipkan diantara lapisan-lapisan kain lainnya. Oleh karena itu, busana tersebut rentan untuk rusak tatanannya selama menari, baik karena terinjak atau karena sebab lain. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, maka selama menari terdapat dua orang abdi dalem yang bertugas mendampingi untuk membenahi busana para penari apabila busana tersebut rusak ketika sedang menari. Ada suatu keunikan disini, karena selama membetulkan busana tersebut, para penari tetap menari dan abdi dalem lah yang menyesuaikan dengan gerakan penari supaya sang penari tetap konsentrasi menari dengan baik karena sedang membawakan tari pusaka.
Untuk mendukung tata busana penari Bedhaya Ketawang, maka wajah para penari tersebut juga dirias selayaknya pengantin. Untuk itu pada bagian dahi dilukiskan beberapa bentuk, yaitu:

1. gajahan, bentuk seperti setengah bulatan telur bebek, letak di tengah-tengah dahi  ± 3 cm di atas kedua pangkal alis dengan lebar pada pangkal dahi ± 4 cm. apabila ditarik garis lurus pada ujungnya secara vertical tepat pada ujung hidung. Merupakan lambang kendaraan raja yang menyimbolkan kedudukan luhur, sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.
2. pengapit, berbentuk ngudup kanthil yaitu seperti kuncup bunga kanthil. Bentuk ini terletak pada dahi, mengapit di kanan kiri bentuk gajahan. Kedua ujung pengapit jika ditarik dengan garis lurus akan bertemu di suatu titik antara kedua pangkal alis. Titik yang merupakan pusat dari semua unsur bentuk paes dan disebut cihna. Lebar pengapit pada pangkal dahi ± 2 cm. Merupakan pendamping kiri-kanan, yang menyimbolkan bahwa meskipun sudah menjadi manusia sempurna harus selalu waspada terhadap sifat buruk pendamping kiri. Pendamping kanan sebagai pemomong akan selalu setia mengingatkan melalui suara hati agar tetap kuat dan teguh imannya.
3. penitis berbentuk seperti setengah bulatan telur ayam pada bagian ujung. Bentuk ini mempunyai ukuran lebih kecil dari pada gajahan. Ada dua penitis seperti halnya pengapit, bentuk ini terletak pada bagian luar dari pengapit kanan dan pengapit kiri. Ujung penitis menghadap ke ujung alis. Merupakan symbol kearifan dan harapan agar mempunyai tujuan yang tepat.
4. godheg berbentuk seperti kudhup atau kuncup bunga turi dengan ukuran mirip dengan pengapit. Bentuk ini berada di dekat telinga kanan dan kiri. Pembuatan godheg dimulai dari atas telinga turun melengkung sampai di depan telinga. Melambangkan bahwa manusia harus mengetahui asal usul dari mana ia datang dan ke mana harus pergi. Manusia diharapkan dapat kembali ke asal dengan sempurna.
5. alis penari berbentuk menyerupai tanduk kijang bercabang satu atau disebut menjangan ranggah. Melambangkan bahwa agar dapat mengatasi segala serangan buruk dari beberapa arah harus selalu waspada dan bijaksana atau “tanggap ing sasmita”.
Bentuk-bentuk tersebut dioles dengan lotha yaitu ramuan berwarna hijau yang dibuat dari campuran malam kote, minyak jarak, dan daun dhandhang gula. Pada jaman dahulu ramuan tersebut dibuat dari daun yang berbau wangi, disebut daun dhandhang gendhis, sehingga rias wajah penari tersebut disebut paes dhandhang gendhis.
Sebagaimana pengantin, maka rambut para penari Bedhaya Ketawang juga disanggul, yang disebut sebagai sanggul bokor mengkurep. Disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai bokor yang tengkurap. Sanggul ini ditutup dengan rajutan melati dan dihias  dengan bunga tiba dhadha yang dibuat dari roncean melati berbentuk bulat panjang sampai tengah paha. Keanggunan dan keagungan tata busana dan rias tersebut ditunjang dengan pemakaian seperangkat perhiasan yang biasa dikenakan pengantin, yang disebut raja keputren, meliputi cundhuk jungkat, centhung, subang, 9 buah cundhuk mentul, garuda mungkur, kalung, kelat bahu, slepe, serta cincin.
Keseluruhan tata busana dan rias pengantin yang dikenakan oleh para penari Bedhaya Ketawang tersebut seolah mereaktualisasikan perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahwasanya Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa menjaga dan melindungi Kerajaan Mataram, salah satunya dengan ia akan selalu memperbaharui pernikahannya dengan raja – raja Mataram. Oleh karena itu Sunan biasanya akan mengangkat salah satu penari Bedhaya Ketawang sebagai selirnya. Hal ini dilakukan untuk mereaktualisasikan pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya selalu hadir setiap tari ini dibawakan. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya akan masuk ke tubuh salah satu penari, yang kemudian diangkat sebagai selir oleh raja. Oleh karena itu para penarinya haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Category: 10 komentar

10 komentar:

Unknown mengatakan...

Maaf kak, boleh tau artikel ini referensinya dari mana saja? Terima kasih

Unknown mengatakan...

Maaf Kak, Boleh tanya nggak. Tari ini berasal darimana?

Unknown mengatakan...

maaf kak mau tanya nama -nama setiap gerakan yang ada di tari ini apa aja ya?

Venancio Moniz mengatakan...

terimakasih atas info yang bagus tentang wawasan budaya. Supaya dipertahankan

stenote mengatakan...

Blog yang menarik... semoga terus berkembang.... Saya ingin berbagi article tentang Montmartre di Paris di https://stenote-berkata.blogspot.com/2018/06/paris-di-montmartre.htmll
Lihat juga video di youtube https://youtu.be/WT6s8eLEzs4

Unknown mengatakan...

Maaf ka...bisa jelaskan arti dari pola lantai gawang jejer lawang,gawang tiga-tiga,gawang perang dan gawang kalajengking! Terimakasih

ariel mengatakan...

Ya kak aku juga mau dikasih tau

Unknown mengatakan...

Surakarta

Quen bilqis mengatakan...

Cantik cantik yang nari

Unknown mengatakan...

Tesis saking wacanan Wewelar Mbeksa Bedhaya Ketawang nopo nggih pak? Matur nuwun sakderenge

Posting Komentar

Tari Bedhaya Ketawang

| |



Bedhaya berasal dari bahasa Sanskerta budh yang berarti pikiran atau budi. Dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi bedhaya atau budaya. Penggunaan istilah tersebut dikarenakan tari bedhaya diciptakan melalui proses olah fikir dan olah rasa. Pendapat lain menyatakan bahwa bedhaya berarti penari kraton, sedangkan ketawang berarti langit atau angkasa. Jadi bedhaya ketawang berarti tarian langit yang menggambarkan gerak bintang-bintang, sehingga gerakan para penarinya sangat pelan.
Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar setahun sekali pada saat Jumenengan Ndalem (penobatan raja). Konon didalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram dengan busana pengantin putri basahan dan sangat cantik, tetapi haya orang tertentu saja yang bisa melihatnya. Perbendaharaan beksan(tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita(drama). Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh peramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan masukan kalangan “lelembut” yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton, sehingga ada muatan gaib dan mistis. Tari yang punya sifat magis dan religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang. Penari Bedhaya Ketawang  adalah abdi dalem, yaitu para penari keputren yang telah dibina sejak umur kurang lebih 12 tahun, sesudah remaja atau sudah dianggap mampu untuk menarikan tari bedhaya, bila raja berkenan mereka diambil untuk dijadikan penari keraton. Kehidupan para penari ditanggung oleh keraton.
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula diperagakan khusus oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan). Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng(Karya Panembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom( karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong(karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya. Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang masih simpang siur.
Bedhaya Ketawang misalnya menurut SinuhunPaku Buwono X menggambarkan lambang kasihnya cinta Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinihun ikut bersamanya menetap didasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya didasar lautan) dan terjadilah perjanjian/Sumpah Sakral antara Ratu Kanjeng Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Panembahan Senapati-Raja Mataram pertama sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Panembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, Penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar suara alunan gending. Kemudian Sultan Agung berinisiatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
Oleh karena itu, ketika Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kraton Surakarta meminta tari Bedhaya Ketawang sebagai pertunjukan sakral istana. Sedangkan kraton Yogyakarta, mencipta bedhaya Semang. Bedhaya Ketawang dibawakan oleh 9 penari wanita dan dianggap sebagai induk munculnya jenis tari Bedhaya lainnya. Kesembilan penari tersebut memiliki posisi masing-masing yang disebut sebagai batak, endhel ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, gulu, dhadha, serta boncit. Masing-masing posisi merupakan  suatu simbol, yaitu:

·       Apit mburi: melambangkan lengan kiri
·       Apit ngarep: melambangkan lengan kanan
·       Apit meneng: melambangkan kaki kiri
·       Batak: mewujudkan jiwa dan pikiran
·       Buncit: mewujudkan organ seks
·       Dadha: melambangkan dada
·       Endhel ajeg: mewujudkan nafsu atau keinginan hati
·       Endhel weton: melambangkan kaki kanan
·       Jangga (gulu): melambangkan leher
Keseluruhan penari yang berjumlah 9 orang dipercaya merupakan angka sakral yang melambangkan 9 arah mata angin. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada peradaban Klasik, dimana terdapat 9 dewa yang menguasai sembilan arah mata angin yang disebut juga sebagai Nawasanga, yang terdiri dari: Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut), Iswara (Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sengkara (Barat Laut), dan Siwa (Tengah). Upaya mengejawantahkan 9 dewa penguasa arah mata angin dalam wujud 9 orang penari tersebut merupakan suatu simbol bahwa pada hakekatnya tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam yaitu keseimbangan antara mikrokosmos (jagat kecil) dan makrokosmos (jagat besar). Suatu konsep kosmologi yang telah mendarah daging pada masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam.
Sebagai tarian yang sangat sakral, maka para penari Bedhaya Ketawang haruslah seorang gadis yang suci dan tidak sedang haid. Apabila sang penari sedang memperoleh haid, ia tetap diperbolehkan menari dengan meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul. Untuk itu, harus dilakukan caos dhahar di Panggung Sanggabuwana, suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat pertemuan Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Selain suci lahiriah yang dimaknai dengan sedang tidak haid-nya seorang penari Bedhaya Ketawang, ia juga dituntut untuk suci secara batiniah. Hal ini dapat dicapai dengan menjalani puasa selama beberapa hari menjelang pagelaran. Dengan menjalani lelaku tersebut diharapkan para penari tersebut dapat membawakan tarian Bedhaya Ketawang dengan sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan ada suatu beban tersendiri pada para penari. Dipercaya bahwa dalam suatu pagelaran Bedhaya Ketawang, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir bahkan ikut menari dan apabila ada penari yang kurang baik dalam menari maka ia akan dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke Laut Selatan. Kepercayaan ini memberikan suatu motivasi tersendiri bagi para penari, bahwa mereka harus membawakan Bedhaya Ketawang dengan sesempurna mungkin supaya tidak dibawa ke Laut Selatan.
Dalam persiapan pementasan, para penari harus mengikuti beberapa aturan dan upacara. Persiapan ini persis seperti jika seseorang akan menikah. Maka beberapa hari menjelang pagelaran, para penari harus mempersiapkan diri antara lain dengan meratus rambut serta kain, melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya supaya aura mereka dapat terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan dari tari itu sendiri. Malam sebelum pertunjukan, para penari harus tidur di Panti Satria, daerah yang paling suci di istana di mana semua peninggalan spiritual disimpan. Latihannya pun pada hari tertentu, yaitu hari Selasa Kliwon (sesuai penanggalan Jawa).  Sekali dalam setiap 35 hari, dan biasanya pelatihan intensif mulai 10 hari sebelum pertunjukan. Setiap latihan harus ada penari cadangan. Karena pada saat hari pementasannya jika ada penari yang haid tidak diperkenankan menari, sehingga penari cadangan tersebut bisa menggantikannya.
Tari Bedhaya Ketawang memiliki gerakan kapang-kapang dimana tangan berada disamping dan jari-jarinya membentuk posisi ngiting. Dengan gerakan gemulai para penari mulai bergerak mengambil posisi sembahan yang melambangkan manusia harus menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta dan melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa keraton, lalu setelah itu para penari berdiri dan mulai melakukan posisi mendhak dan mulai ngleyek sambil menari secara pelan dan sambil bergerak melakukan trisik, kengser sering kali posisi mereka bergantian sesuai gerak dan formasi yang telah ditetapkan misalnya saja dari formasi rakit awitan  berubah menjadi rakit ajeng-ajengan lalu setelah itu berubah menjadi  rakit iring-iringan atau kadang-kadang membentuk formasi rakit tigo-tigo kadang-kadang mereka melakukan gerak ombak banyu.
Pola lantai yang digunakan pada tari Bedhaya Ketawang seperti gawang montor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga. Bentuk sajian tari Bedhaya Ketawang terdiri dari tiga bagian, yaitu: maju beksan, beksan pokok, dan mundur beksan. Maju beksan dimulai dari penari berjalan kapang-kapang, yaitu berbari satu per satu dengan jarak kira-kira satu meter dari Dalem Prabasuyasa menuju Pendapa Sasana Sewaka kemudian membentuk gawang rakit montor mabur tepat di bawah lampu robyong besar. Jalan penari menuju pendapa harus sesuai raja (arah jarum jam), yaitu lewat sebelah kiri tempat duduk raja.
Urutan masuk para penari sebagai berikut: endhel ajeg, batak, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, gulu, apit meneng, dhadha, buncit. Kapang-kapang ini diiringi dengan suluk Pathetan Pelog Lima Ageng oleh kelompok vokal laki-laki dengan iringan beberapa instrumen gamelan berupa gender, gambang, rebab, dan suling. Setelah sampai di hadapan raja tepat di tengah-tengah Pendapa Sasana Sewaka membentuk gawang rakit montor mabur kemudian menyembah. Formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. Atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertib kosmis azali yang teratur, kemudian bagaimana tata tertib tersebut menjadi kacau dan kemudian kembali seperti semula lagi.
Sementara itu busana dan tata rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot, samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan Serimpi.
Sebagaimana pengantin, maka dodot yang digunakan bermotif alas-alasan. Tarian ini memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.
Kata bangun tulak berasal dari kata bango dan tulak. Bango merupakan nama sejenis burung yang dipercaya memiliki umur yang sangat panjang. Sementara itu tulak berarti mencegah bala atau kejahatan. Versi lain kain alas-alasan adalah gadhung mlathi yang memiliki lapisan bawah berwarna hijau sesuai dengan makna gadhung dan lapisan tengah berwarna putih sebagaimana warna bunga melati. Kain tersebut dikenakan sebagai bentuk penghormatan pada Kanjeng Ratu Kidul, karena dipercaya beliau sangat menyukai warna hijau. Selain itu hijau merupakan simbol kemakmuran, ketentraman, dan rasa ketenangan. Lembaran kain dodot tersebut dihiasi dengan motif alas-alasan, yang berarti rimba raya. Penamaan ini berkaitan dengan elemen-elemen yang membentuk motif tersebut, yaitu penggambaran seisi belantara yang meliputi aneka jenis hewan dan tumbuhan, yaitu:

a.     Ragam hias garuda
Dalam batik motif semen, motif garuda merupakan motif yang paling tinggi kedudukannya di antara motif lain. Garuda dipercaya sebagai burung dewa, kendaraan Wisnu, dan sekaligus sebagai simbol matahari. Dalam konsep dewa raja, raja diposisikan sebagai titisan Wisnu (dewa pemelihara), sehingga kendaraannya disejajarkan dengan kendaraan Wisnu. Simbol garuda dapat meninggikan kedudukan raja yang berkuasa.

b.     Ragam hias kura-kura
Kura-kura dipercaya sebagai lambang dunia bawah atau lambang bumi. Dalam agama Hindu, kura-kura merupakan penjelmaan Wisnu yang diharapkan akan dapat menjalankan tugasnya menjaga bumi bila bersatu dengan istrinya yaitu Dewi Sri atau Dewi Kesuburan.

c.      Ragam hias ular
Ular dianggap sebagai simbol perempuan dan merupakan bagian dari konsep kesuburan, hujan, samudera, dan bulan. Sementara itu naga sebagai ular dewa merupakan lambang air dan bumi. Watak tersebut dilambangkan sebagai Dewi Sri. Dalam pengertian simbol, naga melambangkan dunia bawah, air, perempuan, bumi, dan yoni.

d.     Ragam hias burung
Burung merupakan lambang dunia atas yang menggambarkan elemen hidup dari udara (angin) dan melambangkan watak luhur. Kadangkala burung menjadi lambang nenek moyang yang telah meninggal atau dipakai sebagai kendaraan roh menuju Tuhannya. Penggunaan ragam hias burung melambangkan bahwa manusia pada akhirnya akan kembali ke asalnya, yaitu kepada Sang Pencipta.

e.     Ragam hias Meru
Motif meru merupakan simbol gunung. Menurut paham Indonesia kuno, gunung melambangkan unsur bumi atau tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak gunung yang tinggi merupakan tempat bersemayam para dewa. Sementara itu pada pola batik, ragam hias meru menyimbolkan tanah atau bumi yang menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah.

f.       Ragam hias Pohon Hayat
Melambangkan kesatuan dan ke-Esaan. Bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta

g.     Ragam hias Ayam Jantan
Di Indonesia dipandang sebagai symbol keberanian dan tanggung jawab

h.     Ragam hias kijang
Kijang adalah lambang kelincahan dan kebijaksanaan yang menyimbolkan kelincahan dalam berfikir dan mengambil tindakan serta keputusan.

i.       Ragam hias gajah
Merupakan lambang kendaraan raja yang melambangkan kedudukan luhur, mengandung arti sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.

j.       Ragam hias burung bangau
Burung bangau dipercaya memiliki umur yang sangat panjang bahkan dapat mencapai ratusan tahun. Ia dianggap sebagai lambang penolakan keadaan yang tidak baik, sehingga diharapkan dapat menghindari atau menjauhi bahaya apapun, supaya pada akhirnya dapat meraih keselamatan dan berumur panjang.

k.      Ragam hias harimau
Melambangkan keindahan yang disertai wibawa dan tangguh dalam menghadapi lawan

l.       Ragam hias motif kawung
Motif ini tersusun atas bentuk elips, yang dapat diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai) dengan 4 lembar daun bunganya yang sedang mekar. Bunga ini melambangkan umur panjang dan kesucian. Dewa juga dilambangkan dengan bunga teratai. Berdasarkan hal tersebut, maka motif kawung menyimbolkan kedudukan raja sebagai pusat kekuasaan mikrokosmos sejajar dengan dewa sebagai pusat kekuasaan makrokosmos.
Pada hakikatnya penggunaan kain dodot dengan motif alas-alasan tersebut memiliki harapan yang baik sekaligus sebagai penolak bala. Hal ini sesuai dengan ornamen-ornamen yang digambarkan pada lembaran kain tersebut.
Namun sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan. Pemakaian kain jenis ini disebut samparan. Dalam
suatu pagelaran, kain yang digunakan sebagai samparan adalah cindhe dengan motif Cakaran berwarna merah.
Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari. Kain tersebut biasanya memiliki panjang 3 meter dan lebar 50 cm, yang disebut sampur atau udhet. Dalam suatu pagelaran, sondher yang dikenakan bermotif cindhe sekar warna merah, ujungnya berhias gombyok atau rumbai warna emas.
Dari uraian tersebut kita mengetahui bahwa para penari Bedhaya Ketawang mengenakan beberapa helai kain yang dalam teknik pemakaiannya tidak memakai proses jahit dan hanya dililitkan, diselipkan diantara lapisan-lapisan kain lainnya. Oleh karena itu, busana tersebut rentan untuk rusak tatanannya selama menari, baik karena terinjak atau karena sebab lain. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, maka selama menari terdapat dua orang abdi dalem yang bertugas mendampingi untuk membenahi busana para penari apabila busana tersebut rusak ketika sedang menari. Ada suatu keunikan disini, karena selama membetulkan busana tersebut, para penari tetap menari dan abdi dalem lah yang menyesuaikan dengan gerakan penari supaya sang penari tetap konsentrasi menari dengan baik karena sedang membawakan tari pusaka.
Untuk mendukung tata busana penari Bedhaya Ketawang, maka wajah para penari tersebut juga dirias selayaknya pengantin. Untuk itu pada bagian dahi dilukiskan beberapa bentuk, yaitu:

1. gajahan, bentuk seperti setengah bulatan telur bebek, letak di tengah-tengah dahi  ± 3 cm di atas kedua pangkal alis dengan lebar pada pangkal dahi ± 4 cm. apabila ditarik garis lurus pada ujungnya secara vertical tepat pada ujung hidung. Merupakan lambang kendaraan raja yang menyimbolkan kedudukan luhur, sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.
2. pengapit, berbentuk ngudup kanthil yaitu seperti kuncup bunga kanthil. Bentuk ini terletak pada dahi, mengapit di kanan kiri bentuk gajahan. Kedua ujung pengapit jika ditarik dengan garis lurus akan bertemu di suatu titik antara kedua pangkal alis. Titik yang merupakan pusat dari semua unsur bentuk paes dan disebut cihna. Lebar pengapit pada pangkal dahi ± 2 cm. Merupakan pendamping kiri-kanan, yang menyimbolkan bahwa meskipun sudah menjadi manusia sempurna harus selalu waspada terhadap sifat buruk pendamping kiri. Pendamping kanan sebagai pemomong akan selalu setia mengingatkan melalui suara hati agar tetap kuat dan teguh imannya.
3. penitis berbentuk seperti setengah bulatan telur ayam pada bagian ujung. Bentuk ini mempunyai ukuran lebih kecil dari pada gajahan. Ada dua penitis seperti halnya pengapit, bentuk ini terletak pada bagian luar dari pengapit kanan dan pengapit kiri. Ujung penitis menghadap ke ujung alis. Merupakan symbol kearifan dan harapan agar mempunyai tujuan yang tepat.
4. godheg berbentuk seperti kudhup atau kuncup bunga turi dengan ukuran mirip dengan pengapit. Bentuk ini berada di dekat telinga kanan dan kiri. Pembuatan godheg dimulai dari atas telinga turun melengkung sampai di depan telinga. Melambangkan bahwa manusia harus mengetahui asal usul dari mana ia datang dan ke mana harus pergi. Manusia diharapkan dapat kembali ke asal dengan sempurna.
5. alis penari berbentuk menyerupai tanduk kijang bercabang satu atau disebut menjangan ranggah. Melambangkan bahwa agar dapat mengatasi segala serangan buruk dari beberapa arah harus selalu waspada dan bijaksana atau “tanggap ing sasmita”.
Bentuk-bentuk tersebut dioles dengan lotha yaitu ramuan berwarna hijau yang dibuat dari campuran malam kote, minyak jarak, dan daun dhandhang gula. Pada jaman dahulu ramuan tersebut dibuat dari daun yang berbau wangi, disebut daun dhandhang gendhis, sehingga rias wajah penari tersebut disebut paes dhandhang gendhis.
Sebagaimana pengantin, maka rambut para penari Bedhaya Ketawang juga disanggul, yang disebut sebagai sanggul bokor mengkurep. Disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai bokor yang tengkurap. Sanggul ini ditutup dengan rajutan melati dan dihias  dengan bunga tiba dhadha yang dibuat dari roncean melati berbentuk bulat panjang sampai tengah paha. Keanggunan dan keagungan tata busana dan rias tersebut ditunjang dengan pemakaian seperangkat perhiasan yang biasa dikenakan pengantin, yang disebut raja keputren, meliputi cundhuk jungkat, centhung, subang, 9 buah cundhuk mentul, garuda mungkur, kalung, kelat bahu, slepe, serta cincin.
Keseluruhan tata busana dan rias pengantin yang dikenakan oleh para penari Bedhaya Ketawang tersebut seolah mereaktualisasikan perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahwasanya Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa menjaga dan melindungi Kerajaan Mataram, salah satunya dengan ia akan selalu memperbaharui pernikahannya dengan raja – raja Mataram. Oleh karena itu Sunan biasanya akan mengangkat salah satu penari Bedhaya Ketawang sebagai selirnya. Hal ini dilakukan untuk mereaktualisasikan pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya selalu hadir setiap tari ini dibawakan. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya akan masuk ke tubuh salah satu penari, yang kemudian diangkat sebagai selir oleh raja. Oleh karena itu para penarinya haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

10 komentar:

Unknown mengatakan...

Maaf kak, boleh tau artikel ini referensinya dari mana saja? Terima kasih

Unknown mengatakan...

Maaf Kak, Boleh tanya nggak. Tari ini berasal darimana?

Unknown mengatakan...

maaf kak mau tanya nama -nama setiap gerakan yang ada di tari ini apa aja ya?

Venancio Moniz mengatakan...

terimakasih atas info yang bagus tentang wawasan budaya. Supaya dipertahankan

stenote mengatakan...

Blog yang menarik... semoga terus berkembang.... Saya ingin berbagi article tentang Montmartre di Paris di https://stenote-berkata.blogspot.com/2018/06/paris-di-montmartre.htmll
Lihat juga video di youtube https://youtu.be/WT6s8eLEzs4

Unknown mengatakan...

Maaf ka...bisa jelaskan arti dari pola lantai gawang jejer lawang,gawang tiga-tiga,gawang perang dan gawang kalajengking! Terimakasih

ariel mengatakan...

Ya kak aku juga mau dikasih tau

Unknown mengatakan...

Surakarta

Quen bilqis mengatakan...

Cantik cantik yang nari

Unknown mengatakan...

Tesis saking wacanan Wewelar Mbeksa Bedhaya Ketawang nopo nggih pak? Matur nuwun sakderenge

Posting Komentar

.